Thursday, November 20, 2014

Balada Kereta

Bicara tentang fenomena kereta api, sebagai warga Indonesia, sebagai penumpang, sebagai orang yang tinggal di kota besar dan dekat dengan kota metropolitan, tentu memiliki sejuta cerita tentang kereta api. Apalagi orang-orang yang setiap hari menggunakan alat transportasi ini untuk bepergian. Begitu pun saya.

Suatu hari, sekitar tengah hari, saya hendak pulang ke hometown saya yang letaknya hanya puluhan kilometer dari Ibukota Jakarta. Kereta penuh seperti biasa, saya segera mengambil tempat berdiri menghadap kursi penumpang yang penuh terisi. Di depan saya, duduk seorang ibu dengan balita dalam gendongannya dan seorang bapak-bapak di sampingnya. Sang bapak terlihat tertidur meski beberapa kali ia tergerak, seperti terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Sementara sang ibu terlihat asik bercanda dengan sang balita yang sepertinya baru belajar berjalan itu.

Karena anaknya yang lucu, saya ikut-ikutan sang ibu menggodai sang balita yang tidak mau diam. Hingga beberapa menit kemudian, tiba-tiba sang balita menggeliat ingin bergerak, seperti bosan duduk, dan ia ingin menggapai pegangan tangan untuk para penumpang yang berdiri. Tentu saja sulit, tetapi sang balita mulai mengerang dan mulai menangis. Singkat kata, setelah semua cara mendiamkan sang balita tak berhasil, akhirnya sang ibu pun terpaksa berdiri, agar sang balita dapat memainkan pegangan tangan kereta. Otomatis tempat duduk bekas sang ibu jadi kosong.

Karena semua yang berdiri di sekitar saya adalah lelaki, maka semuanya mempersilahkan saya duduk menempati kursi bekas sang ibu. Sesaat saya ragu, saya khawatir sang ibu mungkin nanti akan berubah pikiran dan duduk kembali, oleh karena itu saya tidak duduk. Tetapi semua yang ada disana kembali mendesak saya untuk duduk, meski saya masih bergeming. Akhirnya sang ibu yang melihat saya masih ragu, mempersilahkan sendiri agar saya duduk dan mengatakan saya tak usah mengkhawatirkan beliau. Akhirnya saya pun duduk.

Semua berjalan biasa, hingga kereta sampai di perhentian stasiun berikutnya. Penumpang di gerbong pun bertambah, dan kereta sedikit lebih padat dari sebelumnya. Sang ibu dan sang balita yang sedang memainkan pegangan kereta terlihat tidak peduli dengan keadaan kereta yang penuh, dan mereka tetap berdiri sambil bercanda-canda. Tiba-tiba beberapa penumpang yang baru naik, satu orang adalah seorang ibu-ibu dan satu lagi seorang bapak-bapak, mereka bergerak menghampiri saya dan berkata, "Mbak ya ampun! Kasih tempat duduk dong buat Ibu ini *menunjuk sang ibu dan sang balita*. Bawa anak kecil loh, ga kasian?" Suara mereka cukup keras, membuat setengah gerbong tiba-tiba melirik ke arah saya, membuat saya seperti seorang yang sangat bersalah dan tidak manusiawi. Entahlah, saya merasa sangat dipermalukan.

Sesaat saya terpana, merasa tidak bersalah namun merasa mereka ada benarnya. Semua penumpang yang sudah sejak lama berada di sekitar saya berusaha membela menjelaskan kejadian sebenarnya, meskipun saya masih 'cengo' tak tahu harus berkata apa. Refleks saya berdiri dan mempersilahkan sang Ibu dan sang balita duduk kembali, namun tiba-tiba seorang Bapak sebelah saya yang sedari tadi tertidur, berkata dengan lantang,
"Tidak apa-apa, saya Ayah anak itu *sambil menunjuk sang Ibu dan sang Balita*, anak saya bosan duduk terus, biarin Mbak-nya aja yang duduk *sambil nunjuk saya*."

Saya kaget, jadi sang Bapak yang dari tadi berada di samping saya adalah suami sang ibu, toh. Saya lihat sang ibu-ibu dan sang bapak-bapak yang menyalahkan saya, hanya melengos dan mengalihkan pandangan. Sang ibu dengan balita hanya tersenyum sekilas melihat keramaian yang terjadi dan kembali bersenda gurau dengan sang anak, seperti tidak peduli dirinya sedang menjadi topik utama. Saya bingung, kursi tetap kosong satu, sang ibu tidak duduk karena sang anak masih memainkan pegangan kereta. Saya mau duduk, tapi merasa segan dan takut. Saya berdiri dengan canggung. Rasanya saya shock dengan kejadian tadi, meskipun saya masih merasa tidak bersalah.

Akhirnya, seorang pemuda yang berada di ujung kursi yang tadinya saya tempati, berdiri. Lalu dia berkata, "Gapapa Mbak duduk aja, nih kosong 2 biar Mbak dan ibu itu aja yang duduk *sambil nunjuk saya dan sang ibu dengan balita*."
Saya masih ragu, tetapi penumpang lain membujuk saya untuk duduk kembali. Akhir kata, saya duduk kembali, masih dengan perasaan tak karuan karena merasa semua memperhatikan saya.

Saat saya duduk, saya buka HP dan buka salah satu social media. Seorang teman baru saja share foto bertuliskan kata-kata mutiara, saya lupa persis tulisannya, tapi intinya seperti ini, "People will judge you for no reason, they just dont know what you've been going through."

Saat itu juga, saya mengamini kata-kata tersebut.