Hai!
Setelah berbulan-bulan vakum dari dunia per-blog-an, akhirnya saya nulis lagi.
Ada beberapa draft review buku yang saya sudah saya baca yang ingin saya post, tapi nantilah ya. Belum selesai nulisnya *alasan*
Hari ini saya ingin nulis tentang kejadian seminggu lalu. Selalu lebih mudah bercerita tentang pengalaman diri sendiri yang menyentuh hati ya, alhasil ini blog isinya curhat semua :))
Waktu itu saya dalam perjalanan ke rumah pulang dari kantor, kejadiannya agak malam. Saya naik angkot (angkutan umum) jurusan komplek saya, dan saya duduk di bangku ber-6 persis di belakang supir. Sang supir sambil menyetir sambil mengobrol dengan temannya yang duduk persis di sampingnya, yang tak lain adalah seorang supir juga. Mereka mengobrol dalam bahasa Sunda, dan mereka banyak bercerita tentang bulan puasa dan kebiasaan-kebiasaan 'narik' sampai malam. Saat itu memang bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan sang supir mengaku bahwa ini adalah putaran 'narik'-nya yang terakhir untuk malam itu. Memang saat itu sudah agak malam, dan saya bisa pastikan bahwa penumpang yang akan naik ke arah komplek saya pasti hanya sedikit.
Sepanjang perjalanan, ada beberapa angkot jurusan sama yang 'ngetem' di beberapa titik keramaian kota. Dalam hati saya bersyukur karena angkot yang saya naiki tidak ngetem sama sekali, karena sudah cukup malam dan saya rasanya ingin segera sampai di rumah. Seolah mendengar kata hati saya, sang supir berkata pada temannya, yang kira-kira begini,
"Keun we lah ulah ngetem-ngetem, nu naek mah engke ge aya wae. Rejeki mah tos diatur."
--"Biarlah tidak usah ngetem, nanti juga ada penumpang yang naik. Rezeki sudah ada yang mengatur."
Saya bersorak dalam hati, dan rasanya pengen 'nganuhunkeun pisan' ke bapak supir.
Selang beberapa lama kemudian, ada 2 orang, sebut saja A dan B, yang menanyakan alamat ke sang supir di daerah komplek saya. Sang supir mengatakan bahwa mereka bisa naik, dan nanti diberi petunjuk. Mereka pun naik. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan. Sampai pada saat mereka turun.
Di tengah jalan, masih jauh dari daerah komplek saya, si A turun dan mengatakan 'belakang' ke sang supir. Sang supir hanya menggangguk perlahan sembari melanjutkan mengobrol dengan temannya. Lalu beberapa meter kemudian, saat sedang antri menunggu kereta lewat (jalur ke rumah saya memang melewati rel kereta api), ada seorang ibu yang hendak turun (waktu itu di dalam angkot saya memang ada beberapa penumpang, termasuk saya, ibu-ibu, dan 2 orang tadi). Saat sang ibu turun, tiba-tiba si B ikut turun dan menyela ibu-ibu tadi untuk membayar. Dia menyerahkan uang 5000-an dan meminta kembalian. Sang supir memastikan "Satu?", dan dia menjawab "Iya." Saat itu kereta tepat sudah selesai lewat, sehingga angkot saya yang masih berhenti di pinggir jalan dan letaknya paling depan rel, mulai diklakson oleh mobil-mobil belakang. Sang supir mungkin panik, dia segera menyerahkan kembalian untuk si B dan ibu-ibu tadi, dan bergegas jalan. Ketika angkot berjalan, saya, sang supir, dan temannya sang supir (yang duduk di depan), melihat bahwa si A sudah ada di pinggir jalan depan dan menunggu B.
Saat itu, kami baru sadar. B tidak membayar bagian A. Bahkan saat sudah dipastikan oleh sang supir pun dia tetap memastikan hanya membayar satu, dan meminta kembalian. Saat itu juga, kami baru sadar bahwa mereka tadi meminta diturunkan di alamat dekat komplek saya, yang mana itu masih jauh. Entahlah, saat itu juga kami merasa ditipu.
Teman sang supir pun berkata,
"Pak, nya asa tadi teh eta mah da rek turun di pertigaan, nya naha di dieu."
--"Pak, rasanya tadi mereka mau turun di pertigaan, tapi kok jadi disini."
Lalu sang supir menjawab,
"Heu-euh nya. Tadi mah rek turun di pertigaan ceunah, geus nanyakeun."
--"Iya. Tadi katanya mau turun di pertigaan, tadi dia udah nanya-nanya."
Teman sang supir :
"Muhun. Teras teh nyebatna mah 'belakang' deui, tapi tadi pas ditaros hiji mah heu-euh ceunah nya. Tuh ayeuna mah duaan deui weh eta."
--"Iya. Lalu bilangnya 'belakang' lagi, tapi tadi waktu ditanya 'satu orang?" dia malah jawab iya. Terus sekarang mereka kembali berdua."
Sang supir :
"Haha keun weh lah. Tos seer nu kawas kitu mah, tos biasa."
--"Haha biarkanlah. Udah banyak yang seperti itu, sudah biasa."
Teman sang supir :
"Nya atuh Pak, wanian nya. Piraku atuh ongkos teh ngan sabaraha. Saalit oge meni teu jujur."
--"Ya tapi Pak, kok berani ya. Padahal ongkos tidak seberapa. Hanya sedikit juga tidak jujur."
Percakapan dilanjutkan dengan sang supir yang hanya tersenyum-senyum seolah-olah itu bukan hal besar, dan saya, yang merasa tidak terima, ikut mengobrol dengan mereka. Sejujurnya saya speechless, saya merasa kasihan dengan sang supir. Apalagi jumlah penumpang malam itu yang tidak banyak, tanpa ngetem, dan masih ditipu. Sang supir melanjutkan perjalanan dengan santai, sambil berkali-kali berkata tidak apa-apa, kejadian seperti itu sudah biasa, tidak perlu marah, nanti tidak jadi berkah. Beliau pun seolah-olah menasihati saya dan temannya untuk ikhlas. Saya semakin speechless.
Sesampainya di komplek, teman sang supir pun turun, dan dia tetap memaksa membayar ongkos kepada sang supir. Sang supir hanya menerimanya dan terus berucap terima kasih. Saya terharu, rasanya saya ingin 'melebihkan' ongkos saya, hitung-hitung untuk menggantikan ongkos si B tadi. Tapi saya tahu, orang seperti Pak Supir ini pasti tidak akan mau menerimanya.
Bapak supir baik banget siiih. Semoga rejekinya dilancarkan terus ya Pak :)
Popular Posts
-
Sudah sejak lama, saya ingin membuat sebuah karya DIY (Do It Yourself). Apapun, untuk momen apapun, saya memang sudah lama senang dalam men...
-
Review Buku Bumi : Empat Jiwa, Meniti Satu Nadi Pengarang : Cynthia Febrina Cover depan, samping, dan belakang buku Bumi Sumber : d...
-
This is the picture which I found myself so beautiful. Me, between mom and dad, on my 21st birthday. At that day, in the morning they gave...
-
Ini cerita tentang Ibu Eka. Ibu Eka, adalah seorang ibu 1 anak yang tinggal di daerah Ciawi, Kabupaten Bogor. Sudah lama diti...
-
Katalog 1 - Bunga Kain Mini Katalog 2 - Bunga Kain Maxi Polos Katalog 3 - Bunga Kain Maxi Motif Katalog 4 - Talenan Bunga ...