Belakangan ini, saya sedang mengikuti sebuah serial komik pada sebuah aplikasi di smartphone saya, yang bercerita tentang kematian. Pada cerita tersebut, digambarkan bahwa kematian sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, dan kita harus terbiasa menghadapi kematian seseorang dalam hidup kita. Hal ini tiba-tiba mengingatkan saya akan kejadian beberapa bulan yang lalu.
Kisah ini adalah kisah pribadi saya, kisah yang membuat saya tersadar bahwa kematian memang bisa sangat dekat menghampiri kita. Saya bukanlah orang yang suka menantang maut, apa pun namanya, saya bukanlah orang yang sangat suka kegiatan ekstrem. Misalnya, para peserta Fear Factor, mungkin mereka pernah merasakan kematian seakan berada di samping mereka, karena mereka umumnya merupakan orang-orang yang suka menantang bahaya. Dan saya bukanlah orang yang seperti itu, saya tidak bisa berenang, saya takut ketinggian yang ekstrem, saya takut dengan permainan-permainan ala D*fan atau wahana permainan yang bikin pusing, mual, dan semacamnya. Intinya, saya menjalani hidup di comfort zone saya yang santai, tenang, dan aman.
Suatu hari, saya bersama kedua orangtua saya pergi makan malam di luar rumah. Kami berangkat dengan mobil sedan manual, dan saya yang menyetir. Jarak rumah dan rumah makan yang kami kunjungi tidak jauh, hanya 15 menit perjalanan normal. Tetapi, untuk menuju kesana, kami harus melalui sebuah perlintasan kereta api/rel. Saat berangkat, semuanya normal tanpa masalah, tetapi saat perjalanan pulang, semuanya berbeda.
Daerah rel kereta tersebut memang daerah ramai, dan perlintasan kereta tersebut hanya cukup dilalui sebuah mobil untuk masing-masing jalur. Mobil-mobil antri saat akan melintasi rel tersebut, dengan motor berjejer di samping kiri dan kanan mobil. Sedari dulu, saat saya akan melintasi rel kereta api, saya selalu memastikan mobil di depan saya sudah melewati ujung rel yang di depan, semata-mata untuk memastikan dia tidak mogok, atau just in case tiba-tiba ada kereta, mobil saya masih sempat untuk melalui rel dan tidak berhenti di tengah rel. Begitupun yang saya lakukan malam itu.
Malam itu, di depan saya mobil j*zz berwarna merah, berjalan melintasi kereta perlahan-lahan. Setelah memastikan dia sudah melewati rel, barulah saya gas perlahan mobil saya. Tiba-tiba mobil saya disalip oleh beberapa pengendara motor yang berjalan serong ke depan mobil saya persis, sehingga saya harus sedikit mengerem. Saya rem sebentar, lalu saya coba gas kembali. Tetapi apa yang terjadi, ban saya selip (entah seperti apa penulisannya). Saat itu posisi mesin mobil dan setir mobil (bagian depan sedan) sudah berada tepat di atas rel pertama. Detik itu juga, suara notifikasi kereta akan lewat terdengar.
Saya berusaha tidak panik dan gas kencang mobil saya, percuma, namanya juga ban selip. Ayah saya, yang duduk di bangku samping saya, segera turun dan bersama-sama dengan penjaga rel kereta mendorong mobil ke arah depan bersamaan dengan saya yang menginjak gas tinggi. Saat itu, suara deru kereta sudah mulai terdengar sayup-sayup. Tetapi mobil saya tidak bergerak sedikit pun. Panik, saya refleks membuka kunci pintu mobil, dan berteriak, "Mah, lari!" Tetapi yang Ibu saya lakukan hanya berteriak-teriak panik memanggil-manggil Ayah saya, tanpa keluar dari mobil.
Saya lihat spion belakang, ternyata semua pengendara motor di belakang saya sedang mengkoordinir jalanan belakang saya agar mobil saya bisa mundur. Bisa dibayangkan, di jalan yang sangat padat, saat kemacetan sangat panjang, mereka berupaya mendorong antrian mobil mundur, untuk memberi ruang kepada mobil saya. Lama dan tidak efisien, tetapi entah mengapa, berhasil. Saya pun gas mundur sambil mobil didorong oleh Ayah, dan karena saya tahu ruang untuk mobil saya tetap tidak cukup untuk mundur, saya banting setir mobil ke arah kanan, mengambil jalur arah sebaliknya, dan karena lebar jalan sangat sempit, saya hampir menabrak pos tempat penjagaan rel kereta, yang berada persis di kanan saya. Ajaib, ban saya bisa berputar normal tanpa selip.
Tidak sampai 3 detik kemudian, kereta lewat. Mobil saya selamat dengan posisi serong memblokir jalan, dengan bagian kiri mobil depan hanya berjarak tidak sampai satu meter dengan kereta. Saat itu, seluruh getaran kereta sangat terasa. Saya rasa semua orang disitu, semua mobil di belakang saya, para pengendara motor yang bahkan sudah turun dari motornya masing-masing untuk mengatur jalan, penjaga rel, dan kedua orangtua saya menahan napas. Suasana sunyi dan mencekam. Kami selamat.
Badan saya bergetar hebat. Dengan posisi mobil yang serong, saya tahu saya harus segera membetulkan posisi mobil, karena mobil saya menghalangi kedua jalur layaknya pohon tumbang. Tetapi badan saya bergetar luar biasa, dan saya tidak mampu memegang setir dengan baik. Saya refleks menangis. Belum pernah rasanya saya merasakan takut dan panik separah saat itu.
Seandainya saat itu, semua pengendara motor tidak memberi ruang untuk mobil saya mundur, mungkin mobil saya, khususnya bagian depan akan hancur. Mungkin saya dan Ibu bisa menyusul Ayah keluar mobil, tetapi bagaimana jika mobil saya yang tertabrak kereta tersebut meledak, tentu kereta tersebut juga tidak akan selamat.
Singkat cerita, Ayah saya kembali naik mobil, dan kami mengambil jalan putar arah, karena posisi mobil terlanjur serong. Itu pun kami baru jalan beberapa menit kemudian. Sambil menjalankan mobil kembali, saya tersenyum pada semua pengendara motor, mobil, penjaga kereta, semua yang telah membantu saya, melalui kaca pintu mobil saya yang terbuka. Saya tidak sempat mengucapkan apa-apa, Ayah dan Ibu saya pun tidak kalah speechless. Mereka hanya terdiam, sampai beberapa menit kemudian barulah suara mereka terdengar pelan, berulang kali mengucap istighfar.
Terima kasih semua yang ada pada malam itu. Kematian sudah sedemikian dekatnya dengan kita saat itu, tetapi ternyata bukan sekarang waktu yang tepat untuk menemui Sang Pencipta. Terima kasih, karena kita semua diberi kesempatan kembali untuk melanjutkan hidup.