Wednesday, July 23, 2014

Shalat Tarawih

Di keluarga saya, salah satu kebiasaan di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih di mesjid komplek. Berhubung komplek saya kecil, mesjidnya kecil, dan yang shalat tarawih hanya sekitar 2-3 shaf (untuk akhwat), biasanya kita saling mengenal dan hafal satu sama lain.
Ada salah seorang tetangga saya, seorang ibu, kurang lebih berumur sama dengan ibu saya (sekitar 50-an), hampir selalu rajin shalat tarawih setiap tahun. Beliau selalu bersama anaknya, seorang anak kecil perempuan, yang sebenarnya berumur sama dengan saya, kelahiran 1992, namun mengidap down syndrome (DS). Mereka selalu datang berdua, sang ibu yang sangat ramah datang dan mengobrol dengan ibu-ibu lainnya, sedangkan sang anak selalu sibuk sendiri dengan pikirannya (ia akan berulang-ulang merapikan letak sajadahnya atau mengulang-ulang gerakan shalat, tanpa mengganggu orang lain). Semua orang di komplek kami sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu.
Pada awal bulan Ramadhan tahun 2014 ini, sang Ibu meninggal dunia. Kepergiannya yang mendadak membuat semua orang di komplek kaget dan sedih. Dan lagi, entah mengapa saya khawatir dengan kondisi sang anak.
Momen shalat tarawih pun tiba. Malam itu, saya duduk di barisan shaf depan di samping ibu saya. Tiba-tiba sang anak DS datang bersama ayahnya, sang ayah meminta sang anak duduk ke belakang (barisan akhwat) dan memintanya untuk tidak mengganggu orang lain. Sang anak menurut tanpa mengatakan apapun dan duduk di samping saya. Seperti biasa, ia meletakkan sajadah, mengulanginya berkali-kali, lalu mulai menggunakan mukena, yang juga ia ulang berkali-kali. Setelah dia duduk tenang, ibu saya mencoleknya dan mengatakan "Hei mukenanya baru ya? Bagus.", (semua orang di komplek kami memang sangat baik terhadapnya), dia tersenyum dan mulutnya seolah berkata-kata. Kuperhatikan mulutnya seolah mengatakan "Iya punya aku.", lalu setelah itu dia kembali menunduk dan tak sedikit pun menoleh ke arah lain. Aku terdiam, teringat seandainya ada Ibunya pasti sang Ibu sudah tersenyum lebar kepada kami. Apakah sang anak merindukan ibunya?
Saat shalat pun tiba, sejujurnya aku sedikit tidak khusyuk dan malah memperhatikan perilaku sang anak. Mungkin dia sudah hafal gerakan shalat, karena dia selalu mendahului gerakan imam, tetapi urutan gerakannya dan cara shalatnya benar semua di mata saya. Ketika waktu ceramah tiba, dia membuka mukenanya, merapikan, lalu menggunakannya kembali, dan dilakukan berulang-ulang. Ia juga berkali-kali memastikan uangnya tersimpan rapi di balik sajadah, uang yang kemudian dia masukkan ke dalam kotak infak. Ia juga membawa sebuah kipas lipat, dan dia berkali-kali membentangkan kipas lalu menutupnya. Semua gerakan yang diulang-ulang membuatnya selalu terlihat sibuk, tetapi dia tak mengganggu orang lain sedikit pun. Bersuara pun tidak, tetap hening.
Ketika selesai shalat, sang imam menggunakan waktunya untuk berdoa yang di-amin-i semua jamaah. Saat itulah, sang anak membentangkan kipas lipatnya (yang memiliki beberapa aksen kancing), dan menyadari kancingnya terlepas satu. Seketika ia tidak lagi terlihat tenang, ia membuka mukena, melipatnya, melipat sajadah, lalu meraba-raba karpet khawatir kancingnya terjatuh. Padahal saya dengan mudah melihat kancingnya persis terjatuh di samping sajadahnya, tetapi ia tak juga menyadari. Ia bahkan meraba-raba hingga ujung karpet dekat pintu (yang memang tidak ada orang) untuk memastikan letak kancingnya, cukup lama hingga sekian menit dia masih juga terlihat sangat tidak tenang. Karena kasihan, saya pun mengambil kancingnya dan menyerahkannya kepadanya, tanpa mengatakan apa pun. Seketika itu juga, ia mendongakkan kepalanya ke arah saya, dan tersenyum, lalu kembali duduk tenang di samping saya. Sampai akhir doa (yang memang cukup lama), ia masih juga berkali-kali melihat ke arah saya dan tersenyum, tapi tidak mengatakan apa pun. Mungkin hal itu sangat berarti untuknya.
Malam itu berakhir seperti biasanya. tetapi sejujurnya saya sangat sedih. Bagaimana keseharian sang anak? Sudah pasti ia kehilangan sosok ibunya yang selalu mengurusinya setiap saat. Tetapi bagaimana ia mengekspresikan kesedihannya?
Terlepas dari itu, saya salut terhadap kedua orangtua sang anak, karena sang anak pintar shalat. Meskipun setahu saya ibadah shalat tidak wajib untuk seseorang pengidap DS (cmiiw), tetapi saya rasa mengajarkannya shalat tetaplah baik dan sulit untuk mengajarkannya. Semoga sang anak, sang ibu, dan keluarga diberikan tempat dan kehidupan terbaik.